#bagian pertama#
✏ Ditulis oleh: Abu Karimah Askary bin Jamal Al-Bugisi
Pada edisi yang lalu telah kita nukilkan sebagian fatwa para ulama yang menyatakan bahwa Ihya At-Turots adalah organisasi yang dibangun diatas manhaj Ikhwani,yang didalamnya diterapkan cara-cara hizbiyyah. Diantaranya mengikat anggotanya dengan cara bai’at, ikut serta dalam politik praktis, berparlemen, menyebarkan pemikiran Quthbiyyah dan Abdurrahman Abdul Khaliq. Sehingga, menyebabkan terjadinya perpecahan di berbagai negeri karena campur tangan organisasi ini yang mengatasnamakan dakwahnya dengan dakwah Salafiyyah, termasuk perpecahan yang telah terjadi di Indonesia juga tidak terlepas dari campur tangan mereka.
Pada saat kaum muslimin berusaha mengenal dakwah Salafiyyah secara murni dan konsekuen dan senantiasa berpijak di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan pemahaman yang benar dari Salafus Saleh dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka mereka pun dikejutkan dengan sepak terjang organisasi Ihya At-turots Al-Kuwaiti tersebut di bumi Indonesia. Dengan mengandalkan dananya, ia pun menyalurkannya kepada beberapa organisasi/yayasan atau pondok pesantren untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti, membangun masjid, menanggung anak-anak yatim, menggaji para du’at (guru) dan yang semisalnya.
Nah, kalau permasalahannya hanya berhenti sampai di sini, maka hal itu tidak dipersoalkan oleh para Ulama yang memberi peringatan dari bahayanya organisasi ini. Namun persoalannya ternyata tidak hanya sampai disitu, penyaluran dana tersebut diikuti dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang mereka adakan justru menjadi faktor terbesar semakin terpecahnya Ahlus Sunnah di negeri ini. Mulai dengan cara melakukan hubungan erat dan saling ta’awun dengan organisasi Al-Irsyad cabang Tengaran,yang pada saat itu dipimpin oleh Yusuf Utsman Baisa,yang akhirnya dijadikan sebagai salah satu tempat dilakukannya beberapa kegiatan Ihya At-Turots.
Kegiatan Al Irsyad tersebut, mulai dari mendatangkan Abdurrohman Abdul Khaliq yang sempat menyampaikan ceramahnya di hadapan sebagian para du’at. Lalu disusul dengan pengadaan berbagai kegiatan dauroh,dengan diundangnya para du’at ihya At-Turots yang berasal dari berbagai macam elemen dan beraneka ragam fikroh (pemikiran) dan dilanjutkan dengan diadakannya pengkaderan khusus dengan istilah “mulazamah” selama setahun, dibawah bimbingan langsung dari da’i Ihya At-Turots yang dikirim khusus untuk mengajar di Ponpes Al-Irsyad,Tengaran,dia bernama Syarif Fu’ad Hazza’[1]. Apa yang kami sebutkan ini adalah hanyalah sebagian kecil dari berbagai kejadian yang dilakoni oleh Ihya At-Turots dalam memecah belah Ahlus Sunnah.
Namun pada edisi kali ini, kami tidak ingin membahas tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh Ihya At-Turots tersebut secara detail, sebab itu akan kami rinci pada edisi-edisi yang akan datang –insya Allah Ta’ala-.
Adapun pembahasan kami untuk edisi ini, yakni dengan adanya sebagian mereka yang selalu menganggap sepele terhadap permasalahan ini. Jika ada yang berbicara tentang bahayanya Ihya At-Turots dan memperingatkan kaum muslimin dari kesesatan mereka, maka serta-merta ada yang membantah dan mengatakan, “…ya akhi, ini kan masalah khilafiyyah dan dalam masalah khilaf, kita tidak boleh ada pengingkaran.”Atau ucapan,”…kan ada juga ulama yang merekomendasi mereka sebagai Ahlus Sunnah.” Atau kata-kata seperti, ”…tidak boleh mentahdzir dalam masalah ijtihadiyyah,” “…yang mentahdzir kan bukan ulama Kibar…”.
Ada juga yang menyatakan , “ulama yang mentahdzir kan hanya beberapa ulama saja, adapun yang merekomendasi lebih banyak jumlahnya, bahkan ulama tersebut adalah guru-guru mereka yang mentahdzir” dan yang semisalnya yang hendak mementahkan kembali permasalahan ini dan menganggap - tidak masalah - jika seseorang ingin bekerjasama dengan mereka, karena mereka pun menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah.
Maka, marilah kita mengikuti kajian-kajian berikut ini, sebagai jawaban dari berbagai syubhat seputar Jum’iyyah Ihya At-Turots.
Menyikapi masalah khilafDiantara perkara yang wajib diketahui dalam hal ini adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai porsinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang dari kadar semestinya. Demikian pula dalam hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di kalangan para Ulama. Ada perkara-perkara yang bisa ditolerir yang memerlukan sikap lapang dada dalam menghadapi adanya khilaf tersebut, ada pula yang membutuhkan sikap tegas bahkan sampai kepada tingkat memperingatkan umat dari bahayanya pendapat yang keliru tersebut.
Nah, barangsiapa yang berpendapat bahwa masalah khilafiyyah ijtihadiyyah tidak boleh ada pengingkaran atau tahdzir padanya maka sungguh dia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal.Seperti apa yang disebutkan oleh al akh Firanda : “……..atau diterapkan pada perkara-perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr seperti perkara-perkara yang merupakan masalah ijtihadiyyah”[2] .(Kaidah-Kaidah Penerapan Hajr (Boikot) terhadap Ahli Bid’ah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah(Menyikapi Sejumlah Kesalahan Penerapan Hajr di Indonesia, penulis Al Akh Firanda Ibnu ‘Abidin Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, hal 8, tanpa penerbit [3] ).
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :
ليس كل خلاف جاء معتبرا
إلا خلاف له حظ من النظر
“Tidak semua khilaf yang datang itu bisa dianggapKecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang”
Bila kita telah memahami masalah ini, maka disaat kita mendapati adanya permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para Ulama, maka sikap pertama bagi seorang muslim adalah menimbang masalah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan pemahaman Salafus Soleh. Sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [QS An Nisaa: 59]
Dan firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [QS Al Ahzaab: 36]
Dan firman-Nya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS An Nisaa: 65]
Dan nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara ini masih sangat banyak.Maka jika muncul satu pendapat dari seorang alim atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang shorih (jelas), maka bukanlah hal yang tercela apabila pendapat tersebut diingkari dan diperingatkan umat (tahdzir), agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan hal itu termasuk dalam nasehat yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam sabdanya:
(( الدين النصيحة))
“Agama itu adalah nasehat”(HR.Muslim dari Abu Ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari Radiyallahu ‘anhu ).
Oleh karenanya masih saja para Ulama mengeluarkan bantahan-bantahannya dan memperingatkan umat dari bahayanya mengambil suatu pendapat, yang telah jelas menyelisihi apa yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam. Disini akan kami nukilkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan:
- Nikah mut’ah, yang telah jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwa beliau mengharamkannya. Saya kira tentang keharamannya bukanlah perkara yang samar bagi kita sekalian, sehingga tidak perlu kita menyebutkan dalil-dalilnya, namun itu bukan tujuan kita bahas disini. Namun yang perlu diketahui bahwa di kalangan para ulama bahkan shahabat ada yang menghalalkannya, sebagaimana yang telah tsabit dari Abdullah bin Abbas , diantara yang masyhur berpendapat demikian adalah Ibnu Juraij Abdul Malik bin Abdil Aziz rahimahullah Ta’ala. Lalu jika ada orang di zaman kita ada yang mau melakukan nikah mut’ah, apakah kita tidak mengingkarinya? Apakah kita tidak mentahdzirnya? Dengan alasan bahwa ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah - menurut bahasanya Al-Akh Firanda- ? Tentunya orang yang sedikit pengetahuannya tentang kaidah-kaidah dalam manhaj Salaf pun bisa menjawab hal ini.
- Nikah dengan cara tahlil, yaitu menikahi seorang wanita yang telah bercerai dengan suami pertamanya,yang dimaksudkan -dengan menikahinya – diapun mencerainya, sehingga dia bisa kembali kepada suami pertamanya. Atau telah terjadi kesepakatan diantara mereka bahwa jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar dapat kembali ke suaminya yang pertama. Adapun jumhur para Ulama mengharamkan pernikahan model ini. Berkata Umar : “Tidaklah ada orang yang didatangkan kepadaku melakukan nikah tahlil melainkan akan aku rajam keduanya”. Namun diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membolehkannya. Lalu jika ada orang yang melakukannya pada hari ini, apakah anda tidak memberi peringatan (tahdzir) dari pendapat tersebut - dengan alasan - masalah ini termasuk ijtihadiyyah khilafiyyah ? Jawablah dengan jawaban seorang Salafi yang ikhlas dalam mengikuti manhaj Salaf ! Silahkan lihat ucapan Syaikhul Islam tentang pembahasan nikah tahlil dalam Majmu’ Fatawa : 20/266-dst Jilid 32/93 dan hal:96-97 serta di tempat yang lainnya.
- Jama’ah Tabligh, jama’ah Shufiyyah, dimana para Ulama telah mentahdzirnya dan memberi peringatan darinya. Hal ini adalah perkara yang sudah ma’ruf di kalangan kita sekalian. Akan tetapi ternyata masih ada juga yang memberi pujian pada mereka, seperti Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, bahkan mengarang sebuah kitab sebagai bentuk pujian terhadap mereka yang akhirnya kitab tersebut dijadikan tameng oleh Jama’ah Tabligh. Maka silahkan ditanyakan kepada Al-Akh Firanda –hadanallahu wa iyyah- : “Apakah anda tidak mengingkari Jama’ah Tabligh dan mentahdzir darinya?” Atau anda masih menganggap bahwa ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh ada pengingkaran dan tahdzir padanya ? Kalau anda memberi jawaban pertama, maka anda telah merobohkan kaedah yang anda gunakan sendiri. Dan kalau anda memilih jawaban yang kedua, maka anda perlu untuk mengintrospeksi kembali terhadap manhaj anda.
- Masalah demonstrasi. Baru-baru ini ketika Syaikh Ali Hasan hafidzahullah berkunjung ke Makasar, dalam salah satu pertemuan beliau ditanya tentang hukum berdemonstrasi. Beliaupun menjawab bahwa ini termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para Ulama, walaupun yang rajih menurut beliau adalah terlarang. Saya sendiri belum mengetahui siapa di kalangan para Ulama Ahlus Sunnah yang membolehkan demonstrasi, namun kalaulah apa yang disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan tersebut benar, apakah jika ada yang membolehkan demonstrasi bahkan melakukannya, apakah tidak diperbolehkan mentahdzir darinya dengan alasan bahwa ini termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah? Kita tunggu jawaban dari Al-Akh Firanda.
- Masalah haramnya musik. Kita tentunya telah mengetahui berdasarkan banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang diharamkannya musik. Dan ini adalah pendapat jumhur dari kalangan para Ulama. Namun di kalangan para Ulama masih ada juga yang menghalalkan, seperti Ibnu Hazm rahimahullah Ta’ala. Jika demikian keadaannya, lalu tanyakanlah kepada al-akh Firanda: “Apakah anda tidak mentahdzir dari musik karena termasuk masalah ijtihadiyyah khilafiyyah?”.
- Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Salman dan Safar Hawali. Dimana para Ulama telah menjelaskan dan mentahdzir dari kesesatannya, seperti Al-Allamah Al-Albani, Asy Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah Ta’ala. Bahkan telah dinyatakan bahwa mereka ini tergolong diantara kaum Neo Khawarij. Namun bukankah Al-Akh Firanda juga mengetahui bahwa masih ada juga yang membela mereka, seperti Syaikh Abdurrahman Jibrin, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dan mungkin masih ada yang lainnya yang ana tidak ketahui. Lalu silahkan tanyakan kepada Al-Akh Firanda: “Apakah anda termasuk yang membela mereka atau yang mentahdzir ? Atau mungkin anda memiliki jawaban rinci ?” Mungkin itu yang kita tunggu.
(bersambung, insya Allah…………)
✒ Footnote :
1. Dan dahulu penulis termasuk orang yang turut serta mengikuti berbagai kegiatan Ihya At-Turots yang diadakan di Tengaran dan di tempat yang lainnya, termasuk pada saat diadakannya kegiatan mulazamah setahun bersama Syarif Hazza’, bahkan termasuk diantara murid Syarif Hazza’ yang paling dekat dengannya. Hanya saja penulis tidak sempat menghadiri ceramah Abdurrohman Abdul Khaliq disebabkan karena penulis menyangka bahwa dia akan datang pada hari yang telah direncanakan, ternyata pertemuan yang tersebut diundur. Waktu itu penulis datang bersama Al-Ustadz Al-fadhil Ibnu Yunus hafidzahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni kesalahan-kesalahan kita.
2. Dalam ucapan ini ada dua permasalahan yang perlu pembahasan: masalah mengingkari dan tahdzir dari permasalahan khilafiyah dan yang kedua adalah masalah hajr. Untuk edisi ini kita hanya membahas bagian pertama.
3. Buku ini saya dapatkan foto kopinya dari Al-Akh Al-Ustadz Ibnu Yunus hafidzahullah. Dan saya tidak memiliki bukunya yang sudah dicetak.
Sumber: www.darussalaf.or.id
~~~•~~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
WA. FORUM KIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar