Sabtu, 03 Mei 2014

Bimbingan Syar’i dalam Menyikapi Da’i Yang Melakukan Kesalahan dalam Manhaj dan Aqidah


Fawaid Manhajiyyah dari asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah
Pertanyaan  Kesembilan;  Sebagian orang yang maju memegang dakwah, muncul dari mereka kesalahan-kesalahan di dalam masalah akidah dan manhaj. Kesalahan-kesalahan ini bukan kekeliruan yang sedikit. Bagaimana cara menyikapinya, dan bolehkah menyarankan manusia untuk bermajelis dengannya?

Asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah berkata, “Tunggu dulu wahai Saudaraku, -semoga Allah memberkahimu- sampai kita mengembalikan permasalahan ini kepada prinsip yang didasarkan pada ucapan para ulama, sehingga kita hanya berpendapat sebagaimana pendapat ahlul ilmi.
Kesalahan itu, tidak ada seorang pun yang selamat darinya. Sekali lagi, kesalahan itu, tidak ada seorang pun yang selamat darinya. Tidak dijumpai seorang ‘alim pun yang selamat dari kekeliruan, sampai-sampai al-Imam Ibnu Ma’in rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mengatakan, “Aku tidak melakukan kesalahan,” sungguh ia telah berdusta.” Demikian beliau berkata yang maknanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ulama’ -semoga Allah merahmati mereka.
Baiklah, jadi sudah jelas, kesalahan itu pasti terjadi. Namun permasalahannya, orang yang melakukan kekeliruan, hendaknya ia rujuk dari kesalahannya. KETIKA KESALAHANNYA DIJELASKAN, IA HARUS MENERIMA, TIDAK BERMAIN-MAIN, DAN TIDAK BERSILAT LIDAH. Barangsiapa yang melakukan kesalahan, kemudian dijelaskan kesalahannya, lalu dia rujuk, ia dipuji di sisi para ulama.

ADAPUN ORANG YANG MELAKUKAN KESALAHAN, KEMUDIAN DIJELASKAN KESALAHANNYA, NAMUN IA JUSTRU MEMUTAR-MUTAR LIDAHNYA DAN TALA’UB (BERMAIN-MAIN), orang ini jatuh di hadapan para ulama. Ini adalah perkara yang prinsip.
Prinsip yang kedua; Dan permasalahan ini sudah diperingatkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullah, -atau mungkin ulama lain, namun aku kira ini adalah ucapan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi- bahwasanya bersamaan dengan ucapan para ulama “seorang ‘alim itu tidaklah selamat dari kesalahan”, di sisi lain mereka juga menjelaskan bahwa jika seorang ‘alim itu banyak kesalahannya, menjadi kurang kedudukannya, bahkan terkadang ia jatuh (kredibilitasnya). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh sebagian ulama, bahwa seseorang itu seringnya jatuh kredibilitasnya bila banyak kesalahannya, apabila ia selalu/terus menerus melakukan kesalahan, terutama di dalam permasalahan-permasalahan yang zhahir(jelas), terlebih di dalam permasalahan akidah. Orang yang keadaannya seperti ini, yang wajib baginya adalah BERTAKWA KEPADA ALLAH ‘AZZA WAJALLA, BELAJAR (LAGI), BARU KEMBALI MEMEGANG DAKWAH.
Adapun orang yang maju ke medan dakwah dalam keadaan ‘kayunya belum keras’ (belum cukup bekal), dan ia tidak belajar ilmu syar’i, ini adalah kesalahan.

Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku, aku mengingatkan kalian dengan satu perkara yang sangat-sangat berbahaya, yang muncul dari sebagian saudara kita para penuntut ilmu – dari kalangan orang-orang yang kami masih berprasangka baik terhadap mereka, dan kami memohon kepada Allah ‘azza wajalla agar perkaranya demikian (perkaranya adalah kebaikan), sebagian mereka setelah mengajari murid-muridnya beberapa matan ia berkata, “Pergilah dan ajarilah para pemuda. Pergilah dan majulah mengemban dakwah.” Ini adalah kesalahan.
Dahulu para ulama, para salaf (pendahulu kita yang shalih), salah seorang dari mereka bermajelis dulu selama sepuluh tahun menuntut ilmu, bukan sekedar sepekan atau dua pekan, satu atau dua daurah. Dulu salah seorang dari mereka bertafaqquh (memperdalam ilmu) agama Allah, bermulazamah dengan seorang ‘alim, sampai ia mati. Adapun orang ini, ia mengajari para penuntut ilmu, – ia juga bermajelis dengan para ulama- -satu atau dua matan, satu atau dua daurah, lalu ia berkata, “Engkau termasuk muridku, pergilah, dan mengajarlah.” Ini adalah kesesatan, wahai Syaikh, ini adalah kesesatan! Ini adalah sebuah perbuatan yang menjadikan para pemuda lancang terhadap agama Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah penyimpangan di dalam masalah manhaj. Ini semuanya adalah perkara-perkara yang akan terlihat, bahkan sudah terlihat dampaknya terhadap agama Allah ‘Azza wa Jalla, di mana keberadaan berbagai kesalahan dan penyelisihan terhadap al-haqq bertambah banyak dan kebenaran menjadi semakin lemah.

Sampai ketika engkau berbicara dengan kebenaran, seakan engkau sedang berbicara dengan sebuah kebatilan. Dan ketika engkau berbicara kepada ahlul bathil tentang kebatilan mereka, seakan justru mereka yang berbicara dengan kebenaran. Keganjilan ini sebabnya adalah perkara-perkara kebatilan seperti yang tadi disebutkan; seseorang yang banyak kesalahannya di dalam agama Allah ‘Azza wa Jalla, bahkan di dalam pembahasan akidah,kemudian dia berkata, “Alhamdulillah, kesalahan saya masih bisa dihitung.”

Bila kesalahan-kesalahannya berupa perbuatan yang terbatas yang, dua atau tiga belas perkara yang sifatnya umum, kesalahan yang sifatnya tidak ada seorang manusia pun yang bisa selamat darinya, kesalahan yang tidak menunjukkan atas sedikitnya ilmu pelakunya, dan hanya saja kesalahan tersebut terjadi karena lupanya seseorang dan sifat dasar kemanusiaannya yang terkadang melupakan sesuatu, yang demikian ini tidak mengapa.

Adapun bila kesalahan-kesalahan ini dasarnya adalah kebodohan, dasarnya adalah tidak adanya ilmu di sisi ulama, tidak belajar di sisi ulama, tidak bermulazamah dengan mereka, dan karena tidak adanya sikap terus menerus mengikuti para ulama, maka yang wajib atasnya adalah bertakwa kepada Allah ‘Azza waJalla, bertaubat, berlepas diri dari keadaannya sebagai pengajar bagi manusia, dan hendaknya ia berkata, “Aku bukanlah pengajar bagi manusia, aku bukan guru, aku bodoh seperti kalian, dan aku akan belajar bersama kalian.”
Bila dikatakan, ” Orang ini adalah yang terbaik di tengah mereka,” kami katakan, “Orang yang terbaik di antara manusia hanya membaca perkataan para ulama saja, dan tidak memberanikan diri memberikan syarh (penjelasan) kecuali apa yang bisa ia lakukan lakukan dengan baik. Adapun di dalam materi pembahasan yang belum dikuasainya, ia diharamkan dari berbicara di dalamnya. Bila ia membahasnya dalam keadaan tidak menguasainya, ia wajib dijauhi, hendaknya (manusia) diperingatkan darinya sesudah dinasihati. Orang yang semodel ini harus dijauhi dan tidak boleh bermajelis dengannya, karena para ulama -semoga Allah Ta’ala merahmati mereka- telah menjelaskan bahwa ilmu syar’i ini adalah agama, maka hendaknya kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.
Kita tidak mengambil agama kita dari ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan bid’ah). Ini adalah sikap yang benar. Kita tidak mengambil agama kita dari orang-orang yang bodoh. Ini juga benar. Kita juga tidak mengambil agama kita dari orang yang banyak salahnya dan melampaui batas. Juga tidak dari orang yang tidak mapan ilmunya dari kalangan orang-orang yang sok tahu, yang maju ke medan dakwah untuk memberikan faidah ilmu kepada manusia dalam keadaan mereka tidak terkualifikasi untuk memberikannya.

Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku -semoga Allah memberikan barakah kepada kalian- saya menasihati diri saya dan kalian untuk berhati-hati di dalam permasalahan ini. Hendaknya kalian terus mengikuti durus (pengajaran) para ulama yang tersebar luas di internet, para ulama salaf yang sudah ma’ruf (dikenal keilmuan dan kelurusan manhajnya). Hadirilah majelis-majelis mereka dan bersemangatlah di dalamnya untuk membaca kitab-kitab mereka sebelum kalian maju memberikan faidah ilmu kepada manusia.

Tidak ada larangan untuk memberikan faidah kepada manusia di dalam perkara yang sudah engkau ketahui. aadapun di dalam perkara yang tidak engkau ketahui, hukumnya HARAM bagimu untuk mengajarkannya. Karena Nabi shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Sunan Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani rahimahumallah, من أفتى بغير ثبت فإنما إثمه على من أفتاه “Barangsiapa yang berfatwa tidak benar, hanya saja dosanya bagi yang memfatwakannya.” Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda tentang orang yang terluka kepalanya, ketika sebagian orang berfatwa kepadanya sehingga ia tewas, mereka memfatwakan mandi bagi orang yang terluka tersebut, kemudian ia mandi lalu ia meninggal, beliau bersabda قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذ جهلوا إنما شفاء العي السؤال “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya bila mereka tidak tahu? Hanya saja obatnya kebodohan itu bertanya.”

Ini dia Rasul shallallahu’alaihi wasallam mengatakan ucapan ini. Sedangkan teman kita ini, dia justru mengatakan, ” Saya memang melakukan kesalahan, namun kesalahan-kesalahan saya sedikit.” Padahal ternyata kesalahan-kesalahannya itu banyak, bahkan di dalam pembahasan akidah, sebagaimana tadi disebutkan di dalam pertanyaan.
Kemudian sebagaimana kaidah menurut ulama yang telah dijelaskan sebelumnya, kita harus melihat kesalahan tersebut. Bila kesalahannya -seperti yang telah dijelaskan tadi- termasuk kekeliruan yang mungkin muncul dari kelalaian dan lupa, para ulama memaafkannya disertai dengan menjelaskan dan membantah kesalahan tersebut. Para ulama tidak sekedar memaafkan dan diam dari kesalahan tersebut. Sekali lagi, mereka tidak hanya memaafkan dan diam dari kesalahan tersebut. Namun mereka memberikan penjelasan ( di mana letak kesalahannya). Hanya saja karena yang melakukan kesalahan ini adalah ahlussunnah, dan kesalahannya adalah yang semisal ini (karena lalai atau lupa), para ulama tidak mencelanya dengan keras dan tidak menjelek-jelekkannya, selama dia mau rujuk dari kesalahannya tersebut, dan (sekali lagi) mereka tetap menjelaskannya kepada manusia.

Perhatikan oleh kalian, PENJELASAN TERHADAP KESALAHAN SESEORANG BUKAN TERMASUK PERBUATAN MENJELEK-JELEKKAN ORANG YANG MELAKUKAN KESALAHAN ITU. Barangsiapa yang menghubungkan antara kedua perkara ini, maka ia telah berdusta dan berdosa.
Para ulama, sebagian mereka membantah sebagian yang lain. Dan bantahan terhadap satu sama lain ini adalah salah satu bentuk pertolongan kepada agama Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan merupakan perbuatan saling mencela satu sama lain. Mereka hanya mencela di dalam kesalahan yang muncul dari orang yang menyelisihi, kesalahan yang menunjukkan bahwa pelakunya menentang (syariat dan al-haqq), dan kesalahan yang orang lain yang semisal dengan pelakunya mengetahui kesalahan tersebut. Pada kondisi tersebut terkadang mereka akan menganggap sesat pelakunya, sesudah menjelaskan kesalahan tersebut dan memberi nasihat kepadanya (dan nasihat ini bukanlah syarat yang harus disampaikan sebelum bantahan sebagaimana hal ini sudah dijelaskan pada poin-poin pertanyaan sebelumnya).

Dikumpulkan oleh Abu Muhammad as-Sunni al-Libi.
Dialihbahasakan oleh Ummu Maryam Lathifah al-Atsariyyah.
(Dengan Sedikit Perubahan, mengikuti file Audio asy Syaikh Ahmad Bazmul Hafizhahullo)
Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=136061

Tidak ada komentar: