Fawaid Manhajiyyah dari asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah
Pertanyaan Kesembilan; Sebagian orang yang
maju memegang dakwah, muncul dari mereka kesalahan-kesalahan di dalam
masalah akidah dan manhaj. Kesalahan-kesalahan ini bukan kekeliruan yang
sedikit. Bagaimana cara menyikapinya, dan bolehkah menyarankan manusia
untuk bermajelis dengannya?
Asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah berkata, “Tunggu dulu wahai
Saudaraku, -semoga Allah memberkahimu- sampai kita mengembalikan
permasalahan ini kepada prinsip yang didasarkan pada ucapan para ulama,
sehingga kita hanya berpendapat sebagaimana pendapat ahlul ilmi.
Kesalahan itu, tidak ada seorang pun yang selamat darinya. Sekali
lagi, kesalahan itu, tidak ada seorang pun yang selamat darinya. Tidak
dijumpai seorang ‘alim pun yang selamat dari kekeliruan, sampai-sampai
al-Imam Ibnu Ma’in rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mengatakan,
“Aku tidak melakukan kesalahan,” sungguh ia telah berdusta.” Demikian
beliau berkata yang maknanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh para
ulama’ -semoga Allah merahmati mereka.
Baiklah, jadi sudah jelas, kesalahan itu pasti terjadi. Namun
permasalahannya, orang yang melakukan kekeliruan, hendaknya ia rujuk
dari kesalahannya. KETIKA KESALAHANNYA DIJELASKAN, IA HARUS MENERIMA, TIDAK BERMAIN-MAIN, DAN TIDAK BERSILAT LIDAH. Barangsiapa yang melakukan kesalahan, kemudian dijelaskan kesalahannya, lalu dia rujuk, ia dipuji di sisi para ulama.
ADAPUN ORANG YANG MELAKUKAN KESALAHAN, KEMUDIAN DIJELASKAN
KESALAHANNYA, NAMUN IA JUSTRU MEMUTAR-MUTAR LIDAHNYA DAN TALA’UB
(BERMAIN-MAIN), orang ini jatuh di hadapan para ulama. Ini adalah perkara yang prinsip.
Prinsip yang kedua; Dan permasalahan ini sudah diperingatkan oleh
Ibnu Abdil Barr rahimahullah, -atau mungkin ulama lain, namun aku kira
ini adalah ucapan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi-
bahwasanya bersamaan dengan ucapan para ulama “seorang ‘alim itu
tidaklah selamat dari kesalahan”, di sisi lain mereka juga menjelaskan
bahwa jika seorang ‘alim itu banyak kesalahannya, menjadi kurang
kedudukannya, bahkan terkadang ia jatuh (kredibilitasnya). Sebagaimana
hal ini disebutkan oleh sebagian ulama, bahwa seseorang itu seringnya
jatuh kredibilitasnya bila banyak kesalahannya, apabila ia selalu/terus
menerus melakukan kesalahan, terutama di dalam permasalahan-permasalahan
yang zhahir(jelas), terlebih di dalam permasalahan akidah. Orang yang
keadaannya seperti ini, yang wajib baginya adalah BERTAKWA KEPADA ALLAH ‘AZZA WAJALLA, BELAJAR (LAGI), BARU KEMBALI MEMEGANG DAKWAH.
Adapun orang yang maju ke medan dakwah dalam keadaan ‘kayunya belum
keras’ (belum cukup bekal), dan ia tidak belajar ilmu syar’i, ini adalah
kesalahan.
Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku, aku mengingatkan kalian
dengan satu perkara yang sangat-sangat berbahaya, yang muncul dari
sebagian saudara kita para penuntut ilmu – dari kalangan orang-orang
yang kami masih berprasangka baik terhadap mereka, dan kami memohon
kepada Allah ‘azza wajalla agar perkaranya demikian (perkaranya adalah
kebaikan), sebagian mereka setelah mengajari murid-muridnya beberapa
matan ia berkata, “Pergilah dan ajarilah para pemuda. Pergilah dan
majulah mengemban dakwah.” Ini adalah kesalahan.
Dahulu para ulama, para salaf (pendahulu kita yang shalih), salah
seorang dari mereka bermajelis dulu selama sepuluh tahun menuntut ilmu,
bukan sekedar sepekan atau dua pekan, satu atau dua daurah. Dulu salah
seorang dari mereka bertafaqquh (memperdalam ilmu) agama Allah,
bermulazamah dengan seorang ‘alim, sampai ia mati. Adapun orang ini, ia
mengajari para penuntut ilmu, – ia juga bermajelis dengan para ulama-
-satu atau dua matan, satu atau dua daurah, lalu ia berkata, “Engkau
termasuk muridku, pergilah, dan mengajarlah.” Ini adalah kesesatan,
wahai Syaikh, ini adalah kesesatan! Ini adalah sebuah perbuatan yang
menjadikan para pemuda lancang terhadap agama Allah ‘Azza wa Jalla. Ini
adalah penyimpangan di dalam masalah manhaj. Ini semuanya adalah
perkara-perkara yang akan terlihat, bahkan sudah terlihat dampaknya
terhadap agama Allah ‘Azza wa Jalla, di mana keberadaan berbagai
kesalahan dan penyelisihan terhadap al-haqq bertambah banyak dan
kebenaran menjadi semakin lemah.
Sampai ketika engkau berbicara dengan kebenaran, seakan engkau sedang
berbicara dengan sebuah kebatilan. Dan ketika engkau berbicara kepada
ahlul bathil tentang kebatilan mereka, seakan justru mereka yang
berbicara dengan kebenaran. Keganjilan ini sebabnya adalah
perkara-perkara kebatilan seperti yang tadi disebutkan; seseorang yang
banyak kesalahannya di dalam agama Allah ‘Azza wa Jalla, bahkan di dalam
pembahasan akidah,kemudian dia berkata, “Alhamdulillah, kesalahan saya
masih bisa dihitung.”
Bila kesalahan-kesalahannya berupa perbuatan yang terbatas yang, dua
atau tiga belas perkara yang sifatnya umum, kesalahan yang sifatnya
tidak ada seorang manusia pun yang bisa selamat darinya, kesalahan yang
tidak menunjukkan atas sedikitnya ilmu pelakunya, dan hanya saja
kesalahan tersebut terjadi karena lupanya seseorang dan sifat dasar
kemanusiaannya yang terkadang melupakan sesuatu, yang demikian ini tidak
mengapa.
Adapun bila kesalahan-kesalahan ini dasarnya adalah kebodohan,
dasarnya adalah tidak adanya ilmu di sisi ulama, tidak belajar di sisi
ulama, tidak bermulazamah dengan mereka, dan karena tidak adanya sikap
terus menerus mengikuti para ulama, maka yang wajib atasnya adalah
bertakwa kepada Allah ‘Azza waJalla, bertaubat, berlepas diri dari
keadaannya sebagai pengajar bagi manusia, dan hendaknya ia berkata, “Aku
bukanlah pengajar bagi manusia, aku bukan guru, aku bodoh seperti
kalian, dan aku akan belajar bersama kalian.”
Bila dikatakan, ” Orang ini adalah yang terbaik di tengah mereka,”
kami katakan, “Orang yang terbaik di antara manusia hanya membaca
perkataan para ulama saja, dan tidak memberanikan diri memberikan syarh
(penjelasan) kecuali apa yang bisa ia lakukan lakukan dengan baik.
Adapun di dalam materi pembahasan yang belum dikuasainya, ia diharamkan
dari berbicara di dalamnya. Bila ia membahasnya dalam keadaan tidak
menguasainya, ia wajib dijauhi, hendaknya (manusia) diperingatkan
darinya sesudah dinasihati. Orang yang semodel ini harus dijauhi dan
tidak boleh bermajelis dengannya, karena para ulama -semoga Allah Ta’ala
merahmati mereka- telah menjelaskan bahwa ilmu syar’i ini adalah agama,
maka hendaknya kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.
Kita tidak mengambil agama kita dari ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut
hawa nafsu dan bid’ah). Ini adalah sikap yang benar. Kita tidak
mengambil agama kita dari orang-orang yang bodoh. Ini juga benar. Kita
juga tidak mengambil agama kita dari orang yang banyak salahnya dan
melampaui batas. Juga tidak dari orang yang tidak mapan ilmunya dari
kalangan orang-orang yang sok tahu, yang maju ke medan dakwah untuk
memberikan faidah ilmu kepada manusia dalam keadaan mereka tidak
terkualifikasi untuk memberikannya.
Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku -semoga Allah memberikan
barakah kepada kalian- saya menasihati diri saya dan kalian untuk
berhati-hati di dalam permasalahan ini. Hendaknya kalian terus mengikuti
durus (pengajaran) para ulama yang tersebar luas di internet, para
ulama salaf yang sudah ma’ruf (dikenal keilmuan dan kelurusan
manhajnya). Hadirilah majelis-majelis mereka dan bersemangatlah di
dalamnya untuk membaca kitab-kitab mereka sebelum kalian maju memberikan
faidah ilmu kepada manusia.
Tidak ada larangan untuk memberikan faidah kepada manusia di dalam
perkara yang sudah engkau ketahui. aadapun di dalam perkara yang tidak
engkau ketahui, hukumnya HARAM bagimu untuk mengajarkannya. Karena Nabi
shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan
di dalam Sunan Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani rahimahumallah,
من أفتى بغير ثبت فإنما إثمه على من أفتاه “Barangsiapa yang berfatwa
tidak benar, hanya saja dosanya bagi yang memfatwakannya.” Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda tentang orang yang terluka
kepalanya, ketika sebagian orang berfatwa kepadanya sehingga ia tewas,
mereka memfatwakan mandi bagi orang yang terluka tersebut, kemudian ia
mandi lalu ia meninggal, beliau bersabda قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذ
جهلوا إنما شفاء العي السؤال “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah
membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya bila mereka tidak tahu? Hanya
saja obatnya kebodohan itu bertanya.”
Ini dia Rasul shallallahu’alaihi wasallam mengatakan ucapan ini.
Sedangkan teman kita ini, dia justru mengatakan, ” Saya memang melakukan
kesalahan, namun kesalahan-kesalahan saya sedikit.” Padahal ternyata
kesalahan-kesalahannya itu banyak, bahkan di dalam pembahasan akidah,
sebagaimana tadi disebutkan di dalam pertanyaan.
Kemudian sebagaimana kaidah menurut ulama yang telah dijelaskan
sebelumnya, kita harus melihat kesalahan tersebut. Bila kesalahannya
-seperti yang telah dijelaskan tadi- termasuk kekeliruan yang mungkin
muncul dari kelalaian dan lupa, para ulama memaafkannya disertai dengan
menjelaskan dan membantah kesalahan tersebut. Para ulama tidak sekedar
memaafkan dan diam dari kesalahan tersebut. Sekali lagi, mereka tidak
hanya memaafkan dan diam dari kesalahan tersebut. Namun mereka
memberikan penjelasan ( di mana letak kesalahannya). Hanya saja karena
yang melakukan kesalahan ini adalah ahlussunnah, dan kesalahannya adalah
yang semisal ini (karena lalai atau lupa), para ulama tidak mencelanya
dengan keras dan tidak menjelek-jelekkannya, selama dia mau rujuk dari
kesalahannya tersebut, dan (sekali lagi) mereka tetap menjelaskannya
kepada manusia.
Perhatikan oleh kalian, PENJELASAN TERHADAP KESALAHAN SESEORANG BUKAN TERMASUK PERBUATAN MENJELEK-JELEKKAN ORANG YANG MELAKUKAN KESALAHAN ITU. Barangsiapa yang menghubungkan antara kedua perkara ini, maka ia telah berdusta dan berdosa.
Para ulama, sebagian mereka membantah sebagian yang lain. Dan
bantahan terhadap satu sama lain ini adalah salah satu bentuk
pertolongan kepada agama Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan merupakan
perbuatan saling mencela satu sama lain. Mereka hanya mencela di dalam
kesalahan yang muncul dari orang yang menyelisihi, kesalahan yang
menunjukkan bahwa pelakunya menentang (syariat dan al-haqq), dan
kesalahan yang orang lain yang semisal dengan pelakunya mengetahui
kesalahan tersebut. Pada kondisi tersebut terkadang mereka akan
menganggap sesat pelakunya, sesudah menjelaskan kesalahan tersebut dan
memberi nasihat kepadanya (dan nasihat ini bukanlah syarat yang harus
disampaikan sebelum bantahan sebagaimana hal ini sudah dijelaskan pada
poin-poin pertanyaan sebelumnya).