Keutamaan Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh dengan keutamaan dan barokah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala Yang Maha Pemberi barakah telah menjelaskan hal itu dalam surat Al Qadr (artinya):
“Dan
 tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu?. Yaitu suatu malam yang 
lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan 
ruh (malaikat Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. 
Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 2-5)
Sehingga
 malam itu pun dipenuhi barakah yang berlimpah ruah, sebuah ibadah yang 
dilakukan pada malam itu dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi 
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik daripada 
ibadah yang dilakukan selama seribu bulan selain Ramadhan. Tentu 
keutamaan yang amat besar ini akan membuat hati yang jernih dan akal 
yang sehat terdorong dan berharap untuk dapat meraihnya.
Kapan terjadinya lailatul qadar?
Malam lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sekali dalam setahun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
”Carilah
 lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, jika ada 
diantara kalian lemah, maka jangan sampai luput dari tujuh malam yang 
tersisa (terakhir).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
… فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا
…. maka carilah pada malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” 
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
 berkata dalam Fathul Bari: “Pendapat yang paling kuat tentang 
terjadinya lailatul qadar adalah pada malam ganjil dari sepuluh malam 
terakhir bulan Ramadhan dan terjadinya tidak menetap pada malam tertentu
 dalam setiap tahunnya.”
Adapun
 memastikan suatu malam dari bulan Ramadhan bahwa ia adalah malam 
lailatul qadar (di tahun tersebut), maka membutuhkan dalil (yang shahih 
dan jelas) dalam penentuannya. Namun malam-malam ganjil pada sepuluh 
terakhir itu hendaknya lebih dijaga dibanding selainnya, dan malam 
keduapuluh tujuh hendaknya lebih dijaga lagi daripada malam-malam ganjil
 selainnya yang dimungkinkan bertepatan dengan lailatul qadar. (Lihat 
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah li Al-Buhuts wa Al-Ifta`)
Apa yang seharusnya dilakukan di malam tersebut?
Pertama:
 Bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir melebihi kesungguhan 
pada malam-malam selainnya, dalam hal shalat, membaca Al-Qur’an, 
berdo’a, dan ibadah-ibadah yang lainnya. ‘Aisyah s menceritakan:
كَانَ
 رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا 
اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
“Dahulu
 Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika memasuki sepuluh malam 
terakhir, beliau menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya, 
serta mengencangkan tali pinggangnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Muslim: “Dahulu
 beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh 
malam terakhir yang tidak sama kesungguhannya dengan malam-malam 
selainnya.”
Kedua: Menegakkan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
 yang menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan 
dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka pasti akan diampuni 
dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).
Ketiga: Membaca do’a sebagaimana yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. ‘Aisyah radliyallahu ‘anha
 berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menjumpai 
suatu malam bahwa itu adalah malam lailatul qadar, apa yang harus aku 
baca pada malam itu? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Ucapkanlah (berdo’alah):
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفوَ فَاعْفُ عَنِّي .
“Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf Maha Mulia lagi suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi)
I’tikaf
I’tikaf
 adalah usaha untuk senantiasa menetap di masjid disertai dengan 
menyibukkan diri dengan ibadah (seperti menegakkan shalat-shalat sunnah 
disamping shalat lima waktu, memperbanyak membaca Al Qur’an, 
memperbanyak dzikir, do’a, dan istighfar), meninggalkan hal-hal yang 
kurang bermanfaat (seperti mengobrol, cerita, senda gurau dan 
semisalnya), dan tidak keluar dari masjid selama i’tikaf, kecuali bila 
ada keperluan yang mengharuskan untuk keluar (seperti buang hajat atau 
semisalnya).
‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Yang
 disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang 
sakit, tidak berta’ziyah, tidak menggauli dan mencumbu istrinya, serta 
tidak keluar dari masjid untuk sebuah kebutuhan kecuali perkara yang 
mengharuskan untuk keluar.”
Padahal
 dalam agama Islam, menjenguk orang sakit dan berta’ziyah keduanya 
merupakan perkara yang sangat dianjurkan. Namun demikian, ia menjadi 
gugur ketika menjalankan ibadah i’tikaf di masjid. Hal ini menunjukkan 
betapa pentingnya perkara i’tikaf tersebut. Sehingga orang yang 
beri’tikaf hendaknya bersungguh-sungguh menggunakan waktunya untuk 
bermunajat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
Ini
 merupakan sebuah sunnah (ibadah) yang perlu kita hidupkan dan 
semarakkan, karena hampir-hampir sunnah ini menjadi asing 
ditengah-tengah umat Islam. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf di bulan Ramadhan.
Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu
 Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada setiap bulan 
Ramadhan selama sepuluh hari, dan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf
 selama dua puluh hari.” (HR. Al Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Zakatul Fitri (Zakat Fitrah) dan Takarannya
Zakat
 Fitrah diwajibkan atas setiap muslim, baik merdeka maupun budak, 
laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, sebagaimana 
pernyataan shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma: ”Rasulullah
 Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak 1 
sha` kurma atau 1 sha` sya’ir (gandum), (dan diwajibkan) baik atas orang
 merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun perempuan, dewasa ataupun 
anak-anak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Takaran
 Zakat Fitrah adalah 1 (satu) sha` (2,5kg). Sebagian ulama berpendapat 1
 sha` sama dengan 3 kg makanan pokok, seperti beras.
Manfaat Zakat Fitrah
Manfaat zakat fitrah adalah:
1.        
 Sebagai pembersih atau penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan 
yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji.
2.         Sebagai subsidi makanan bagi orang-orang miskin
Shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata:
فَرَضَ
 رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً 
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ 
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا 
بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
”Rasulullah
 Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai 
penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada 
manfaatnya dan perkataan yang keji dan sebagai makanan bagi orang-orang 
miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Id, maka terhitung
 sebagai zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red), dan 
barangsiapa menunaikannya setelah selesai shalat Id, maka itu adalah 
shadaqah dari shadaqah-shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Kapan Zakat Fitrah Dibayarkan?
Zakat
 Fitrah dibayarkan pada hari raya Idul Fitri sebelum shalat Id 
dilaksanakan, atau sehari/dua hari sebelum Idul Fitri. Oleh karenanya 
dinamakan Zakat Fitrah karena pembayarannya pada hari Idul Fitri (ini 
adalah waktu yang paling utama), atau dekat dengan Idul Fitri. Dahulu, 
setelah umat Islam semakin banyak, sebagian para shahabat membayarkan 
Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, 
sebagaimana disebutkan dalam atsar Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma yang
 diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kapan saja zakat
 fitrah dibayarkan pada salah satu dari waktu-waktu tersebut, maka 
terhitung sebagai zakat fitrah yang sah. Sebagaimana dalam hadits di 
atas: ”Barangsiapa membayarnya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat 
yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red).”
Kepada Siapa Zakat Fitrah Diberikan?
Zakat
 Fitrah tidak seperti zakat-zakat lain dalam hal sasaran pembagian. 
Karena Zakat Fitrah hanya diberikan kepada fakir-miskin, tidak kepada 
selainnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits di atas: ”Zakat Fitrah sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”
Bolehkah Zakat Fitrah dibayar dengan uang tunai?
Mayoritas
 ulama tidak membolehkan zakat fitrah dibayar dengan uang, karena yang 
demikian tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sementara sangat memungkinkan di masa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
 zakat fitrah dibayar dengan uang (dinar atau dirham). Namun, beliau 
memerintahkan untuk membayar Zakat Fitrah dengan kurma atau sya’ir 
(gandum, bahan makanan pokok di masa itu). Sebaik-baik petunjuk adalah 
petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).Wallähu a’lam bish showäb.
Penutup
Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala
 menerima amalan-amalan ibadah kita semua, mengampuni dosa-dosa kita 
semua, dan menggolongkan kita kepada golongan orang-orang yang bertaqwa 
dengan shaum Ramadhan yang kita laksanakan. Amïn Yä Mujïbas Sä`ilïn..
http://buletin-alilmu.net/2010/08/19/raihlah-keutamaan-di-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan/

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar