Jumat, 01 Agustus 2014

Audio Khotbah Idul Fitri 1435 Hijria / 2014 Masehi, Bersama Al Ustadz Abu Muawiyah Askary

Berikut ini Kami Sajikan Audio Khotbah Idul Fitri 1435 Hijria / 2014 Masehi, Bersama Al Ustadz Abu Muawiyah Askary yang dilaksanakan di Ma'had Ibnul Qoyyim Balikpapan..

Dengan Judul : SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH KEBERKAHAN ALLAH

Semoga Dapat mengambil Faidahnya dan Bermanfaat. Barakallahu Fiykum

Berikut Rekaman Audio :
Click to download in MP3 format (5.54MB)

MERANGKAI FAEDAH DARI MUTIARA SEJARAH


MERANGKAI FAEDAH DARI MUTIARA SEJARAH
Inilah al-baitul qashid –maksud– dari penukilan beberapa riwayat tarikh pada lembaran-lembaran yang telah lalu, yaitu mengambil pelajaran dari sejarah generasi terbaik.
Tarikh sahabat bukan sekadar cerita bacaan. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita mengambil ibrah (pelajaran) dari kehidupan generasi terbaik dalam mengamalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Dengan memohon pertolongan Rabbul ‘Izzah, kita tutup majelis kita dengan memetik beberapa pelajaran dari kisah-kisah di atas. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala selalu memberikan hidayah kepada kita hingga berjumpa dengan-Nya dan menatap Wajah-Nya yang mulia.
Pertama: Sahabat adalah bintang-bintang bagi umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
Meyakini keutamaan sahabat dan mencintai mereka adalah kewajiban agama, fardhu ‘ain atas seluruh manusia sebagaimana ditunjukkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mencintai sahabat adalah iman. Sebaliknya, membenci mereka adalah kemunafikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْإِيْمَانِ حُبُّ الْأَنصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
Tanda keimanan adalah mencintai sahabat Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci sahabat Anshar.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Anas bin Malik)
Apabila mencintai sahabat Anshar termasuk iman, maka terlebih lagi mencintai sahabat Muhajirin dan Al-Khulafaur Rasyidin; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali.
Jauhnya umat dari generasi awal yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai adalah sebab kebinasaan dan sebab dijauhkannya seorang dari jalan kebenaran. Ibarat seorang musafir di tengah sahara yang berjalan tanpa petunjuk.
Pernahkah terbayang bagaimana seorang musafir di tengah lautan atau padang sahara berjalan di tengah kegelapan? Mereka sangat butuh dengan bintang di langit sebagai penunjuk arah. Demikianlah perumpamaan sahabat bagi umat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika kemuliaan sahabat dinodai dengan penghinaan, fitnah pasti akan menimpa. Kerusakan akidah akan melingkupi jiwa. Demikian pula sikap dan tindakan tercela akan muncul sebagaimana tejadi di masa lalu, di masa kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Demikian pula saat ini dan masa yang akan datang.
Kedua: Menjatuhkan keutamaan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah makar musuh-musuh Islam
Islam tidaklah sampai kepada kita melainkan melalui jalan sahabat. Dengan penuh pengorbanan, mereka menjaga syariat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga kita pun merasakan cahaya Islam. Darah dan jiwa, mereka korbankan bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidupnya, demikian pula setelah wafatnya. Mereka menebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah yang penuh dengan rahmah dan keindahan.
Karena demikian agungnya kedudukan sahabat dalam agama ini, maka mencela sahabat adalah pangkal kerusakan agama. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dalam sebuah sabdanya:
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela seorangpun dari sahabat-sahabatku, karena seandainya kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud tidaklah infak itu mencapai (pahala infaq) salah seorang sahabatku sebanyak satu mud atau separuh mud.” [1]
Melalui pintu inilah musuh-musuh Islam dari kalangan orang kafir dan munafik berusaha merusak Islam dan menjauhkan umat dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Abu Zur’ah berkata:
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَنْ يَجْرَحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ
“Jika engkau melihat seorang mencela (meremehkan) satu sahabat Rasulullah, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah zindiq. Karena kita yakin bahwa Rasulullah adalah haq, demikian pula Al-Qur’an adalah haq, dan yang menyampaikan Al-Qur’an dan sunnah-sunnah ini adalah sahabat-sahabat Rasulullah. Yang mereka kehendaki adalah mencela saksi-saksi kita (yakni para sahabat) untuk menolak Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun merekalah yang lebih pantas dicela, dan mereka adalah kaum zindiq.” [2]
Tarikh Islam membuktikan apa yang dilakukan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala dengan makarnya. Melalui pintu pencelaan sahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam mereka berusaha merobohkan pilar-pilar Islam. Makar inilah yang dilakukan Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi, dengan menebarkan celaan kepada Utsman bin Affan , manusia terbaik di muka bumi saat itu.
Terlalu berani dan gegabah bagi Ibnu Saba’ dan manusia buruk sejenisnya untuk mencela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan muslimin, karena tabir makar itu akan segera tersingkap. Namun dengan jalan mencela sahabat, mereka memiliki sedikit celah untuk membuat makar di tengah kaum muslimin.
Ketiga: Berhati-hati dari makar Yahudi dan penyusup di barisan kaum muslimin
Ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani tidak pernah ridha hingga kaum muslimin mengikuti millah (agama) mereka. Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan hal ini dalam firman-Nya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Berbagai upaya mereka tempuh untuk meluapkan kedengkian terhadap Islam. Di antara makar tersebut adalah menyebarkan pemikiran-pemikiran yang merusak Islam. Terlebih di zaman ini, zaman yang seringkali dibanggakan sebagai era informasi dan teknologi. Yahudi beserta barisan munafikin melancarkan perang pemikiran dengan berbagai media yang mereka miliki. Allahul musta’an.
Dalam tarikh Islam, Ibnu Saba’ adalah contoh nyata dari upaya tersebut. Lihatlah bagaimana penyusup ini membentuk kekuatan dengan menyebarkan kesesatan, menjatuhkan keutamaan sahabat di tengah-tengah orang-orang bodoh, hingga terbunuhlah khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Tidak berhenti dengan wafatnya ‘Utsman, di masa ‘Ali  pun dia berusaha menyusupkan akidah-akidah sesat. Ia tebarkan sikap ghuluw (melampaui batas dalam mengagungkan Ali) sampai taraf menuhankan beliau. Hingga muncullah agama Syi’ah Rafidhah di tengah kaum muslimin, yang pengaruhnya terus dirasakan hingga saat ini. Bahkan mereka memiliki sebuah negara yang memperjuangkan agama Rafidhah.
Iran, demikian nama negara yang siap terus menjadi kaki tangan Yahudi merusak keindahan Islam dan mencemarkan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Khumaini Al-Khabits adalah misal yang tidak dapat dipungkiri. Mulutnya yang kotor dan najis penuh dengan celaan dan cercaan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan dipenuhi dengan ucapan-ucapan kufur. Wal-’iyadzu billah.
Pembaca rahimakumullah. Jika musuh-musuh Islam berusaha menyusup di tengah muslimin di masa sahabat, lalu bagaimana di masa kita? Tentu mereka lebih banyak dan lebih leluasa. Di sinilah kita harus terus meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala pertolongan dan harus ada upaya untuk menghadapi mereka, yaitu dengan jihad baik dengan lisan, tulisan, atau kekuatan sesuai dengan aturan syariat.
Keempat: Memberontak kepada penguasa muslim adalah jalan Khawarij yang penuh kerusakan
Menaati umara dalam hal-hal yang baik adalah pokok penting dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Mematahkan/ menghancurkan ketaatan pada umara’ –meskipun mereka fajir– dengan memberontak atau melakukan tindakan-tindakan yang menyelisihi syariat, seperti aksi demonstrasi dan membuka aib-aib umara di podium dan jalan umum adalah sebab fitnah dan tercabutnya keamanan.
Hal ini bukan berarti kita diam atas kemungkaran umara. Namun syariat telah memberi aturan yang baku tentang cara menasihati penguasa dan sikap apa yang kita lakukan kala melihat kemungkaran mereka.
Di antara aturan tersebut tampak dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa hendak menasihati penguasa maka janganlah dia tampakkan nasihatnya terang-terangan. Akan tetapi ambillah tangannya dan rahasiakanlah nasihat itu. Jika dia menerimanya maka itulah yang diharapkan. Namun jika ia menolaknya, sesungguhnya kewajiban memberi nasihat telah ia tunaikan.” [3]
Adapun pemberontakan dengan segala bentuknya, semua itu adalah sunnah sayyi’ah Ibnu Saba’. Pemberontakan dengan gaya Ibnu Saba’ begitu jelas kita saksikan di negeri kita ini. Perhatikan apa yang terjadi di tengah umat. Berbagai jamaah hizbiyyah terus menanamkan kebencian kepada wulatul umur. Dengan mudah mereka memberikan vonis kafir tanpa mempertimbangkan syarat-syarat dan faktor-faktor penghalang (mawani’). Dengan mudah pula mereka menilai sebuah negeri sebagai negeri kafir –seperti negeri kita ini–. Massa pun disusun, kekuatan pun dibangun untuk menggulingkan pemerintahan.
Apakah reformasi ala Abdulah bin Saba’ mendatangkan kebaikan? Tidak! Justru kerusakan dan hilangnya keamanan, itulah yang akan dituai.
Kelima: Al-Jahl (kebodohan) adalah sebab terjatuhnya seseorang dalam fitnah, dan ilmu adalah obatnya
Siapakah orang-orang yang dihasut Abdullah bin Saba’? Apakah yang dia hasut adalah sahabat-sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam atau ulama-ulama tabi’in? Atau orang-orang yang mengitari ulama, bertanya pada mereka dan kembali kepada mereka di saat ada perkara yang tidak diketahui?
Jawabnya: Bukan salah satu jenis di atas! Yang ia pengaruhi adalah orang-orang bodoh yang jauh dari ilmu dan ulama.
Ibnu Sauda’ tidak berhasil memengaruhi penduduk Madinah untuk menumpahkan darah ‘Utsman. Tetapi dia berhasil memprovokasi orang-orang bodoh dan jauh dari ulama ketika dia menginjakkan kaki di Mesir. [4]
Demikianlah jika kebodohan telah meliputi jiwa dan hawa nafsu telah merasuk dalam kalbunya, terlebih jika keadaan itu disertai sikap acuh dan antipati pada ulama. [5] Orang seperti ini akan sangat mudah dibawa gelombang fitnah, sebagaimana terjadi pada para pemberontak Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Mereka bodoh akan dalil-dalil muhkam (yang sangat terang) yang menunjukkan keutamaan ‘Utsman dan Ali radhiyallahu anhu serta jaminan jannah untuk keduanya. Hawa nafsu dan nash yang mutasyabihat (samar) lebih mereka kedepankan ketimbang bertanya kepada ahlul ilmi yakni para sahabat untuk menghilangkan kebodohan tersebut. Sebagaimana hal ini juga tampak pada argumen-argumen Khawarij dalam dialog mereka bersama Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu. Merekapun binasa.
Berbeda dengan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Tidak ada seorang sahabatpun terlibat dalam pemberontakan atau bahkan pembunuhan Utsman radhiyallahu anhu atau Ali bin Abi Thalib. [6] Semua itu karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian ilmu yang ada pada mereka hingga mengerti mauqif (sikap) yang benar saat terjadinya fitnah.
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan padanya, Allah Subhanahu wa ta’ala akan fahamkan dia dalam agama.”
Demikianlah, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan pada beberapa ribu Khawarij untuk selamat dari fitnah pemberontakan kepada Ali, Allah Subhanahu wa ta’ala berikan taufik kepada mereka untuk memahami dialog Ibnu ‘Abbas yang membantah syubhat-syubhat mereka, hingga mengantarkan sebagian mereka bertaubat dan kembali pada jalan yang benar.
Keenam: Bid’ah besar berawal dari bid’ah yang kecil, maka berhati-hatilah dengan segala kebidahan
Al-Imam Al-Barbahari (329 H) t berkata: “Berhati-hatilah dari perkara-perkara muhdats (bid’ah) yang kecil, karena bidah yang kecil akan menjadi besar. Dan demikianlah, semua kebid’ahan yang muncul di umat ini pada awalnya menyerupai kebenaran, maka tertipulah mereka yang masuk ke dalamnya, hingga kemudian tidak mampu untuk keluar darinya….” (Syarh As-Sunnah hal. 37) [7]
Al-Imam Ad-Darimi meriwayatkan bahwasanya Abdullah bin Mas’ud z menjumpai sekelompok manusia berkumpul di masjid membentuk lingkaran. Masing-masing memegang kerikil-kerikil, dan di tengah mereka ada seseorang yang duduk dan mengatakan: “Bertasbihlah kalian seratus kali! Bertahlillah seratus kali! Bertakbirlah seratus kali!” Dengan kerikil-kerikil itu mulailah mereka menghitung dzikir (bersama-sama). Maka berdirilah Abdullah bin Mas’ud mengingkarinya seraya berkata: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami menghitung takbir, tasbih dan tahlil dengan kerikil-kerikil ini.” Berkatalah Ibnu Mas’ud: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Aku jamin kebaikan kalian tidak disia-siakan sedikitpun. Wahai umat Muhammad n, betapa celakanya kalian! Betapa cepatnya kehancuran kalian! (Bukankah) sahabat Nabi kalian masih banyak, dan pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam belum lagi hancur? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah yang kalian lakukan ini berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian telah membuka pintu-pintu kesesatan!?” Mereka menjawab: “Demi Allah -subhanahu wa ta’ala-! Wahai Abu Abdurrahman, tidaklah kami menginginkan kecuali kebaikan!” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya.”
‘Amr bin Salamah berkata: “Sungguh kami melihat bahwa semua mereka yang berada di halaqah-halaqah tersebut memerangi kami di hari Nahrawan bersama barisan Khawarij.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam As-Sunan dan dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 5/11, no. 2005)
Pertempuran Nahrawan adalah pertempuran besar antara Ali dan Khawarij. Terbunuh pada perang ini tokoh-tokoh Khawarij, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang terlibat pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata menerangkan faedah dari riwayat Ad-Darimi ini: “Sesungguhnya bid’ah yang kecil akan mengantarkan kepada bid’ah yang besar.” (Ash-Shahihah, 5/11)
Ketujuh: Al-Qur’an wajib ditadabburi dan diamalkan
Allah subhanahu wa ta’ala turunkan Al-Qur’an untuk ditadabburi maknanya dan diamalkan kandungannya. Bukan hanya dibaca kemudian tidak direnungkan, atau bahkan menyelisihinya dalam pengamalan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shad: 29)
Mentadaburi Al-Qur’an dan mengamalkannya adalah manhaj sahabat dan generasi salaf umat ini. Abu ‘Abdurrahman As-Sulami berkata: “Berkata kepada kami para sahabat yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan selain keduanya, bahwasanya jika mereka belajar dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, tidaklah mereka melampauinya hingga mempelajari apa yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut berupa ilmu dan amal, maka kami (ATAU: mereka???) mempelajari Al-Qur’an, kandungannya sekaligus pengamalannya.” [8]
Namun ketika Al-Qur’an hanya dibaca tanpa dipahami dengan pemahaman yang benar, seorang akan terjatuh dalam penyimpangan dan kesesatan. Abdurrahman bin Muljam dan barisannya adalah contoh dalam hal ini. Ia adalah sosok ahli ibadah dan penghafal Al-Qur’an. Namun ketika Al-Qur’an tidak mereka fahami dengan pemahaman sahabat, bahkan mereka fahami dengan pemahaman Khawarij, terbawalah ia dalam arus fitnah. Ia pun tergulung oleh ombak kebinasaan.
Kedelapan: Di antara makar musuh Islam adalah merusak sejarah
Sejarah salaf umat ini adalah sejarah gemilang dan penuh pelajaran berharga bagi generasi sesudahnya. Semua mata rantainya tidak lepas dari faedah dan pelajaran. Oleh karenanya, musuh-musuh Islam berusaha merusak tarikh tersebut sebagai upaya menjauhkan umat dari generasi terbaiknya. Sebagaimana kita bisa melihat contohnya berupa upaya musuh-musuh Islam membuang Ibnu Saba’ dari catatan tarikh, atau upaya mereka membuat kedustaan-kedustaan dalam riwayat tarikh sahabat sebagaimana diisyaratkan Ibnu Taimiyah rahimahullah. Maka berhati-hatilah dari makar musuh-musuh Islam melalui pintu ini maupun pintu lainnya.
Kesembilan: Fitnah akan padam dengan taqwa
Semua fitnah akan padam dengan taqwa, yaitu menghadapinya dengan bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dilakukan ‘Utsman bin Affan. Beliau terus berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wasiat-wasiatnya dalam menghadapi fitnah, sebagaimana ditunjukkan riwayat-riwayat yang shahih.
Beliau lebih memilih untuk sendiri dalam menghadapi bughat sebagaimana wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan mereka sadar dan tidak melanjutkan pemberontakan.
Utsman melarang sahabat melakukan pembelaan atas dirinya karena mafsadah (kerusakan) besar yang akan terjadi yaitu pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin, dan yang akan menjadi korban adalah para sahabat. Beliau ambil mafsadah terkecil dari dua mafsadah yang ada di hadapan beliau. Fitnahpun reda tanpa adanya pertumpahan darah di tengah kaum muslimin.
Wallahu a’lam bish-shawab. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
—————————————————-
Catatan Kaki:
[1] HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim (4/1967) no. 2541.
[2] Diriwayatkan Al-Khathib Al-Bagdadi dalam Al-Kifayah (hal. 98) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
[3] Diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (3/404), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dari sahabat ‘Iyadh bin Ghunm. Dishahihkan Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah.
[4] Lihat kajut: Kontroversi Ibnu Saba’ Al-Yahudi.
[5] Sehingga di antara makar musuh-musuh sunnah adalah menjatuhkan kehormatan ulama agar umat jauh dari mereka. Di masa kita misalnya, Khawarij menjatuhkan kehormatan masyayikh sunnah, seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz,Asy- Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan masyayikh lainnya.
[6] Tidak ada seorang sahabat pun yang terjatuh pada fitnah pembunuhan Utsman, bahkan pembunuhan itu terjadi di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji tahun 35 H. Adapun Muhammad bin Abu Bakr Ash-Shiddiq yang disebut-sebut termasuk mereka yang mengepung ‘Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, bahkan sempat masuk di hari pembunuhan kemudian insaf dan pergi meninggalkan fitnah, ia bukan termasuk sahabat. Hal ini diterangkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah.
[7] Ucapan Al-Barbahari ini dinukilkan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘ (15/91) pada biografi Al-Imam Al-Barbahari.
[8] Disebutkan Syaikhul Islam dalam Muqadimah Tafsir, lihat Majmu’ Fatawa (13/330).

Dakwah Kubur Perusak Umat


(Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Dakwah para rasul adalah dakwah kepada tauhid, menyeru umat untuk beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan melarang mereka dari kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (an-Nahl: 36)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya, “Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (al-Anbiya: 25)
Inilah manhaj para rasul, mengajak untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjaga umatnya dari kesyirikan dengan berbagai upaya yang beliau lakukan. Buktinya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menyeru umatnya untuk meninggalkan dan menjauhi kesyirikan. Bahkan, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan patung-patung ketika Fathu Makkah dan mengutus para sahabatnya untuk menghancurkan berhala-berhala yang dijadikan sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara hal yang juga beliau ingatkan untuk dijauhi oleh umatnya adalah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang saleh dan mengagungkan kubur mereka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  menyatakan bahwa para penyembah kuburan adalah orang-orang terjelek. Ketika Ummu Salamah  menceritakan perbuatan kaum Nasrani yang beliau lihat di Habasyah, Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ
“Mereka itu, jika ada orang saleh (meninggal) di antara mereka, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan membuat gambarnya. Mereka adalah orang-orang terjelek di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz  menerangkan, “Maksud ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah peringatan agar perbuatan mereka tidak diikuti. Namun, ada dari umat ini yang terjatuh dalam perbuatan tersebut. Yang paling banyak melakukannya adalah Syiah Rafidhah yang ghuluw terhadap ahlul bait.” (Syarah Kitabut Tauhid, hlm. 105)
Lima hari menjelang wafat, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan pra nabi dan orang saleh sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid karena aku melarang dari hal tersebut.” (HR. Muslim)
Bahkan, ketika sedang sakaratul maut, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ؛ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا
“Laknat Allah  atas Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid. Beliau memperingatkan (agar jangan sampai meniru) perbuatan mereka….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Haram Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid adalah haram. Asy-Syaikh Muhammad al-Imam mengatakan, “Dalil-dalil masalah ini banyak dan kami cukup menyebutkan sebagiannya. Nash-nash tersebut mengandung banyak hal penting:
1. Menjadikan kuburan nabi dan orang saleh adalah tuntunan/perbuatan Yahudi dan Nasrani. Barang siapa melakukannya berarti dia telah menghidupkan perbuatan mereka.
2. Orang yang menjadikan kuburan para nabi dan orang saleh sebagai masjid telah terjatuh ke dalam laknat, padahal Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
“Barang siapa yang dilaknat (dikutuki) Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (an-Nisa: 52)
3. Orang yang menjadikan kuburan para nabi dan orang saleh sebagai masjid tergolong orang-orang terjelek di dunia dan akhirat.
Makna menjadikan kuburan sebagai masjid adalah:
1. Membangun bangunan masjid di atasnya.
2. Melakukan shalat dan ibadah lainnya di kuburan walaupun tidak membangun bangunan masjid di atasnya.
3. Memasukkan kuburan ke dalam bangunan masjid. (Lihat Tahdzirul Muslimin minal ghuluw fi Qubur ash-Shalihin, hlm. 61—65)
Ghuluw terhadap Kuburan Orang Saleh adalah Pangkal Kesyirikan
Syaikhul Islam  mengatakan bahwa kesyirikan bani Adam kebanyakan muncul dari dua hal pokok. Yang pertama adalah mengagungkan kuburan orang saleh, membuat gambar dan patung mereka untuk tabaruk (mencari barakah). Inilah sebab pertama yang dengannya manusia melakukan kebid’ahan dan ini adalah syirik kaum Nuh.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Adalah sangat penting agar seorang muslim mengetahui bagaimana awal munculnya kesyirikan pada kaum mukminin setelah mereka menjadi muwahidin.” Telah teriwayatkan dari sejumlah salaf riwayat yang banyak dari tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23)
Kelima nama tersebut adalah hamba-hamba yang saleh. Ketika mereka meninggal, setan pun memberikan wangsit kepada kaum mereka untuk beri’tikaf di kubur-kubur mereka. Kemudian setan memberikan wangsit kepada generasi setelah mereka untuk membuat patungnya. Lalu setan memberikan wangsit kepada generasi ketiga untuk menyembah mereka. (Disarikan dari Tahdzirus Sajid hlm. 150)
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam  mengatakan, “Penetapan bahwa pangkal kesyirikan adalah penyembahan kubur tidak diperselisihkan. Seseorang yang menelaah sejarah manusia sejak peristiwa penyembahan kubur yang dilakukan kaum Nuh hingga diutusnya Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, akan mendapati bahwa penyembahan kubur adalah dasar kesyirikan. Inilah sejarah singkat penyembahan kubur yang dilakukan manusia setelah kaum Nuh.
1. Falasifah (ahli filsafat)
Ar-Razi menyatakan, jika murid-murid Aristoteles tertimpa musibah, mereka mendatangi kuburnya untuk meminta “bantuan”.
2. Hindu
Mereka mengklaim bahwa di India ada kubur Adam, istri dan ibu Adam. Semua kuburan tersebut disembah dengan dilakukan thawaf di sana dan diusap-usap.
Alangkah bodohnya mereka. Dari mana datangnya ibu Adam?
3. Orang-orang Budha
Mereka menyembah Budha. Makna Budha menurut mereka adalah orang alim.
4. Yahudi dan Nasrani
Banyak hadits Rasulullah n yang menyebutkan bahwa Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.
5. Bangsa Arab
Orang Arab di masa jahiliah menyembah patung. Ini adalah kenyataan yang sudah diketahui. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa mereka menyembah kubur adalah hadits Buraidah dalam Shahih Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur sekarang berziarahlah kalian.”
Para ulama memberikan alasan bahwa larangan berziarah kubur di awal-awal Islam karena dikhawatirkan kaum muslimin akan terpengaruh dengan kebiasaan jahiliah menyembah kubur dan untuk menutup jalan kejelekan. Ketika disyariatkan ziarah kubur, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Dan janganlah kalian berkata hujra.”
Yakni, jangan kalian mengucapkan ucapan kotor/keji, dan ucapan yang paling keji adalah ucapan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Asy-Syaikh Muhammad al-Imam berkata, “Para penyembah kubur di tengah-tengah kaum muslimin adalah pewaris agama-agama terdahulu yang telah disebutkan. Inilah balasan bagi orang yang tidak mengambil bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (Disadur dari Tahdzirul Muslimin hlm. 14—15)
Kelompok Pertama dalam Islam yang Menyeru kepada Penyembahan Kubur
Islam adalah agama yang memerangi segala bentuk kesyirikan dan penyembahan berhala. Tidaklah Rasulullah n meninggal melainkan setelah menyampaikan semua risalah dan menunaikan amanah serta memerangi kesyirikan. Sampai-sampai beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di Jazirah Arab. Akan tetapi, dia bersemangat dalam memecah-belah (mengadu domba) di antara kalian.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir)
Sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, umat Islam selamat dari kesyirikan. Zaman salaf (sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in) adalah masa yang paling bersih dari kesyirikan. Mereka adalah generasi yang paling bertakwa.
Beberapa saat setelah habisnya masa salafus shalih, muncul para dai khurafat dan mengikuti prasangka. Yang pertama kali mencetuskan peribadatan kubur adalah kaum Bathiniah ketika menguasai negeri Mesir. Mereka juga yang pertama kali membuat pusara al-Husain di Mesir. Padahal ini jelas merupakan kedustaan karena al-Husain meninggal di Karbala dan tidak ada dalil yang menunjukkan dipindahkannya makam beliau. (Tahdzirul Muslimin hlm.16)
Syiah dan Sufi Menyebarkan Dakwah Kubur
Syiah dan Shufiyah (Sufi) mempunyai andil besar dalam menyebarkan dakwah peribadatan kubur. Ketika berdiri daulah Syiah di Irak dan Iran, pemimpin mereka, Ahmad bin Bawaeh, menyeru semua laki-laki dan perempuan untuk memakai pakaian berkabung, menutup pasar dan toko-toko, serta mengharamkan jual-beli. Semuanya meratap menuju kubur al-Husain bin Ali. Bahkan, sebagian mereka meyakini bahwa kubur al-Husain lebih tinggi kedudukannya daripada Ka’bah.
Tatkala Syiah membangun kubah-kubah, monumen-monumen, serta masjid di atas kuburan, kaum sufi pun mengikuti mereka. Satu contoh, yakni kubur Ma’ruf al-Karkhi yang dinamai oleh para penyembah kubur, khususnya dari kalangan shufiyah, at-Tiryaq al-Mujarrab… Para penyembah kubur menjadikan kubur al-Karkhi ini sebagai sumber untuk melakukan bid’ah dan khurafat, membangun masjid-masjid di atas kuburan, serta memilih tempat ibadah di sisi kubur. (Lihat Tahdzirul Muslimin hlm. 25—27)
Musuh-Musuh Islam Bersemangat Menyebarkan Dakwah Kuburiyah
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam mengatakan, “Ketika telah kokoh kekuatan komunis di Yaman Selatan, mereka pun memerangi para penyembah kubur. Akan tetapi, kami kaget dengan dibiarkannya orang-orang penyembah kubur melakukan kesyirikan dan khurafat di kemudian hari. Kami mendapat berita bahwa tokoh-tokoh Rusia telah mencerca kalangan komunis di Yaman yang telah memerangi para penyembah kubur karena mereka tidaklah membahayakan. Bahkan mereka menyibukkan manusia dengan maulid-maulid sehingga tidak berpikir untuk menghadapi musuh atau memperbaiki keadaan muslimin.”
Penulis al-Uluhiyah fi Aqa’idi asy-Syi’ah mengatakan, “Oleh karena itu, kita jangan merasa heran ketika para penjajah memberikan kedudukan dan meteri yang banyak kepada shufiyah….” (Lihat Tahdzirul Muslimin hlm. 17)
Menutup Semua Celah yang Menggiring kepada Kesyirikan
Ketika kita telah mengetahui dahsyatnya gelombang dakwah kepada kesyirikan—terutama pengagungan kepada kubur—dan banyaknya faktor yang menjerumuskan orang kepada kesyirikan, yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri dan masyarakat adalah menutup segala celah yang akan menggiring kepada perbuatan syirik. Di antara celah (jalan) kesyirikan yang harus kita jauhi adalah sebagai berikut.
1. Ghuluw kepada orang saleh
Ghuluw kepada orang saleh adalah sarana kesyirikan yang paling besar sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ibnu Abdil Hadi  mengatakan, “Sesungguhnya, lembah kesyirikan yang paling luas adalah pengultusan individu.”
2. Melakukan ziarah kubur yang tidak sesuai dengan cara yang dituntunkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ziarah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat seringkali mengandung banyak kemaksiatan, kebid’ahan, dan kesyirikan.
3. Menjadikan sebagian kubur sebagai ied.
Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata:
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” (HR. Ahmad)
4. Shalat menghadap kubur atau shalat di atasnya.
Ini adalah lorong yang mengantarkan kepada kebid’ahan dan kesyirikan.
5. Memilih berdoa di sisi kubur
Ini juga salah satu sarana yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
6. Menjadikan kubur sebagai masjid.
7. Membangun bangunan di atas kubur.
8. Memberatkan diri/bersusah payah melakukan safar ke tempat-tempat peninggalan (petilasan, red.) orang saleh.
Melakukan safar untuk mengunjungi kuburan orang-orang saleh adalah adat kebiasaan jahiliah. Syariat menetapkan tidak boleh mengkhususkan bepergian melainkan menuju ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha.
9. Mencari barakah di tempat-tempat yang tidak disyariatkan.
10. Beribadah di tempat orang musyrikin berbuat syirik
Melakukan ibadah di tempat tersebut akan menghidupkan kembali kesyirikan.
11. Membaca buku-buku yang menganjurkan beribadah kepada kuburan.
12. Belajar kepada dai-dai kuburi (penyeru penyembahan kepada kubur).
13. Meniru orang-orang kafir dalam masalah akidah dan ibadah mereka.
Inilah beberapa hal yang harus kita jauhi karena semua ini adalah jalan yang akan mengantarkan seseorang kepada kesyirikan. (Lihat Tahdzirul Muslimin hlm. 69—72)
Kemudian, kita juga harus berlepas diri dan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik, terutama para dai yang mengajak kepada kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim:
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah l, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (al-Mumtahanah: 4 )
Kita harus membekali diri dengan ilmu. Para penyeru kepada kesyirikan terus menyebarkan syubhat-syubhat mereka untuk mengajak orang menyembah dan mengagungkan kuburan-kuburan tertentu. Dan ilmulah yang menjadi senjata seorang yang bertauhid dalam menghadapi mereka.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan, “Seorang awam yang bertauhid bisa mengalahkan seribu ulama musyirikin. Namun, yang dikhawatirkan adalah seorang muwahid yang berjalan dalam keadaan tidak memiliki senjata (yakni ilmu).” (Lihat Kasyfus Syubhat). Seorang muslim tidak boleh berbasa-basi dalam masalah agamanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Katakanlah, “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah sesembahan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah sesembahan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun: 1—6)
Ketahuilah, tidaklah seorang teranggap sebagai bertauhid hingga dia mengingkari sesembahan selain Allah yang disembah oleh orang musyrikin. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Barang siapa mengucapkan Laa ilaha illallah dan mengingkari sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala, telah terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyatakan, “Seseorang tidak cukup sekadar mengucapkan laa ilaha illallah. Ia harus mengucapkannya, mengetahui maknanya, meyakininya, hanya beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan mengingkari sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala.” (Lihat Kitabut Tauhid)
Beliau berkata tentang definisi Islam, “Berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mentauhidkan-Nya, tunduk patuh menaati-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik.” (Lihat Ushuluts Tsalatsah)
Jangan Hinakan Kuburan Muslimin
Ketika syariat melarang pengagungan kuburan tidak berarti boleh menghinakan kuburan muslimin. Kedua hal ini sama-sama terlarang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh, salah seorang kalian duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya sampai menembus kulitnya lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan.” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya kuburan muslimin memiliki kehormatan sebagaimana disebutkan dalam Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam karena kuburan adalah rumah orang yang telah meninggal. Tidak boleh dibiarkan ada najis di atasnya, menurut kesepakatan ulama. Tidak boleh pula diinjak atau menjadikannya tempat bertelekan, menurut pendapat kami dan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.”
Asy-Syaikh Muqbil  berkata, “Kuburan teranggap rumah orang-orang yang telah meninggal. Tidak boleh seorang pun duduk di atasnya atau menjadikannya tempat lalu lalang kendaraan….”
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi mengatakan, “Pemerintah hendaknya mencegah orang-orang zalim yang menjadikan kuburan-kuburan sebagai jalan, pasar, dan tempat duduk-duduk mereka.” (Lihat al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid hlm. 195—196)
Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan ucapan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin  berikut ini.
Kubur (seorang muslim) mempunyai dua hak atas kita.
1. Kita tidak boleh meremehkan kewajiban menghormatinya, yakni tidak boleh menghinakannya, tidak boleh pula duduk di atasnya.
2. Kita tidak ghuluw terhadapnya … (Lihat al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, 1/260)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dan anak keturunan kita dari kesyirikan. Kita berdoa seperti ucapan Nabi Ibrahim:
“(Wahai Rabbku), jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan khusnul khatimah kepada kita.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
————————————————-